BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komodo
adalah satu-satunya spesies terakhir dari keluarga monitor lizard yang mampu
bertahan hidup dan berkembang. Diperkirakan masih ada sekitar 2.000 ekor lagi
yang terpencar di Flores, yakni di pesisir Barat Manggarai dan pesisir Utara
Kabupaten Ngada serta beberapa tempat di Kabupaten Ende. Bahkan hasil
penelitian Auffenberg dari Amerika Serikat, komodo ditemukan sampai Timur
Flores. Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan
dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar
4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini
terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili
Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor).
Ditinjau dari ilmu genetika, ekologi, dan populasi, diperlukan kehatian-hatian untuk melakukan konservasi ex situ. Sebab, jika dilakukan tanpa tinjauan ilmiah yang mendalam, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu populasi.Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya.
Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya. Ini berarti, setelah dipindahkan ke lingkungan baru yang tidak sesuai dengan habitat semula, ada kemungkinan komodo tersebut menunda reproduksinya atau bahkan tidak dapat bereproduksi sama sekali. Jangan sampai tragedi kematian massal bekantan yang dipindahkan dari Kalimantan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu terulang kembali.
Oleh karena itu, dengan melihat beberapa penjelasan diatas maka kami melakukan penyusunan makalah yang berjudul Populasi Komodo ini.
B.
Rumusan Masalah
-
Mengapa populasi komodo di indonesia menurun ?
-
Bagaimana cara agar penurunan populasi komodo tidak terlalu ekstrem?
C.
Identifikasi Masalah
-
berkurangnya ketersediaan mangsa
-
akbat cuaca yang kurang mendukung untuk berkembang biak dan masa penetasan
telur
-
saling memangsa sesama komodo
-
banyaknya perburuan komodo
-
terbatasnya lingkungan hidup komodo
D.
Hipotesis
a)
Dugaaan pertama, Komodo berkurang mangsanya / makanannya, sehingga saling
memangsa sesama komodo
b) Dugaan ke dua, suhu yang tidak selalu
mendukung untuk berkembang biaknya komodo (penetasan telur)
c) Dugaan ke tiga, komodo banyak di buru, karena
bisa digunakan untuk aksesoris. Misalnya kulit komodo yang dijadikan tas,
sepatu, jaket, d.l.l.
E.
Tujuan
Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah :
1. Supaya siswa dapat
mengetahui apa itu komodo.
2. Mengetahui dan memahami tentang Populasi dan Konservasi Komodo.
3. Supaya siswa tahu di mana habitat komodo.
4. Mencegah kepunahan Komodo akibat faktor tertentu.
5. Dapat menambah refensi pustaka sekolah.
2. Mengetahui dan memahami tentang Populasi dan Konservasi Komodo.
3. Supaya siswa tahu di mana habitat komodo.
4. Mencegah kepunahan Komodo akibat faktor tertentu.
5. Dapat menambah refensi pustaka sekolah.
BAB 2
KAJIAN TEORI
A.
Teori tentang komodo
Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis), adalah spesies kadal
terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan
Gili Dasami di Nusa Tenggara. Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga
disebut dengan nama setempat ora.
Termasuk anggota famili biawak Varanidae,
dan klad Toxicofera, komodo merupakan kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata
panjang 2-3 m.
Ukurannya yang besar ini berhubungan dengan gejala gigantisme
pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu
yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia
karnivora
di pulau tempat hidup komodo, dan laju metabolisme
komodo yang kecil. Karena besar tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator
puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup.
Komodo ditemukan oleh peneliti
barat tahun 1910. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat
mereka populer di kebun binatang. Habitat komodo di alam bebas telah menyusut
akibat aktivitas manusia dan karenanya IUCN (International Union for
Conservation of Nature) memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap
kepunahan. Biawak besar ini kini dilindungi di bawah peraturan pemerintah
Indonesia dan sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, didirikan
untuk melindungi mereka.
BAB 3
PEMBAHASAN
A.
Anatomi dan Morfologi
Di
alam bebas, sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar komodo dewasa biasanya
memiliki massa sekitar 70 kilogram,namun komodo yang dipelihara di penangkaran.
Spesimen liar terbesar yang pernah ada memiliki panjang sebesar 3.13 meter dan
berat sekitar 166 kilogram, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya.
Meski komodo tercatat sebagai kadal terbesar yang masih hidup, namun bukan yang
terpanjang. Reputasi ini dipegang oleh biawak Papua (Varanus salvadorii).
Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah
gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang kerap diganti. Air
liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir
seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan.
Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri
mematikan yang hidup di mulut mereka. Komodo memiliki lidah yang panjang,
berwarna kuning dan bercabang. Komodo jantan lebih besar daripada komodo
betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara
komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil
kuning pada tenggorokannya. Komodo muda lebih berwarna, dengan warna kuning,
hijau dan putih pada latar belakang hitam.
B.
Fisiologi
Komodo
tak memiliki indera pendengaran, meski memiliki lubang telinga. Biawak ini
mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel
kerucut, hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo
mampu membedakan warna namun tidak seberapa mampu membedakan obyek yang tak
bergerak. Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan mencium
stimuli, seperti reptil lainnya, dengan indera vomeronasal memanfaatkan organ
Jacobson, suatu kemampuan yang dapat membantu navigasi pada saat gelap. Dengan
bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri
ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh 4—9.5
kilometer. Lubang hidung komodo bukan merupakan alat penciuman yang baik karena
mereka tidak memiliki sekat rongga badan. Hewan ini tidak memiliki indra perasa
di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di bagian belakang
tenggorokan. Sisik-sisik komodo, beberapa di antaranya diperkuat dengan tulang,
memiliki sensor yang terhubung dengan saraf yang memfasilitasi rangsang
sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga, bibir, dagu dan tapak kaki memiliki
tiga sensor rangsangan atau lebih. Komodo pernah dianggap tuli ketika
penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan
ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar. Hal ini
terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor
melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak
terlihat oleh si biawak.
C.
Ekologi, perilaku dan cara hidup
Komodo
secara alami hanya ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Flores dan Rinca dan
beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara. Hidup di padang rumput kering terbuka,
sabana dan hutan tropis pada ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat
panas dan kering ini. Mereka aktif pada siang hari, walaupun terkadang aktif
juga pada malam hari. Komodo adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama
hanya pada saat makan dan berkembang biak. Reptil besar ini dapat berlari cepat
hingga 20 kilometer per jam pada jarak yang pendek; berenang dengan sangat baik
dan mampu menyelam sedalam 4.5 meter; serta pandai memanjat pohon menggunakan
cakar mereka yang kuat. Untuk menangkap mangsa yang berada di luar
jangkauannya, komodo dapat berdiri dengan kaki belakangnya dan menggunakan
ekornya sebagai penunjang. Dengan bertambahnya umur, komodo lebih menggunakan
cakarnya sebagai senjata, karena ukuran tubuhnya yang besar menyulitkannya
memanjat pohon. Untuk tempat berlindung, komodo menggali lubang selebar 1–3
meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang kuat. Karena besar tubuhnya dan
kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo dapat menjaga panas tubuhnya selama
malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi selanjutnya.
Komodo
umumnya berburu pada siang hingga sore hari, tetapi tetap berteduh selama
bagian hari yang terpanas.Tempat-tempat sembunyi komodo ini biasanya berada di
daerah gumuk atau perbukitan dengan semilir angin laut, terbuka dari vegetasi,
dan di sana-sini berserak kotoran hewan penghuninya. Tempat ini umumnya juga
merupakan lokasi yang strategis untuk menyergap rusa.
D.
Perilaku makan
Komodo
adalah hewan karnivora. Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai,
penelitian menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara
mengendap-endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika
mangsa itu tiba di dekat tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya
pada sisi bawah tubuh atau tenggorokan. Komodo dapat menemukan mangsanya dengan
menggunakan penciumannya yang tajam, yang dapat menemukan binatang mati atau
sekarat pada jarak hingga 9,5 kilometer.
Reptil purba ini makan dengan cara mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh. Air liur yang kemerahan dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang panjang; 15–20 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing. Komodo terkadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon, agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah. Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo bernafas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya. Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan. Setelah makan, komodo menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun atau kira-kira sekali sebulan. Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan mana dikenal sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel; perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau ludahnya sendiri. Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui bahasa tubuh dan desisannya; yang disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak, hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang. Mangsa biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga, telur, cecak, dan mamalia kecil. Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal. Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu agar tak dapat digali komodo.
Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon yang pernah hidup di Flores. Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan menakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa; suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika.
Karena tak memiliki sekat rongga badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum (seperti kucing). Alih-alih, komodo mengambil air dengan seluruh mulutnya, lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.
Reptil purba ini makan dengan cara mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh. Air liur yang kemerahan dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang panjang; 15–20 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing. Komodo terkadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon, agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah. Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo bernafas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya. Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan. Setelah makan, komodo menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun atau kira-kira sekali sebulan. Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan mana dikenal sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel; perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau ludahnya sendiri. Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui bahasa tubuh dan desisannya; yang disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak, hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang. Mangsa biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga, telur, cecak, dan mamalia kecil. Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal. Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu agar tak dapat digali komodo.
Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon yang pernah hidup di Flores. Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan menakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa; suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika.
Karena tak memiliki sekat rongga badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum (seperti kucing). Alih-alih, komodo mengambil air dengan seluruh mulutnya, lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.
E.
Bisa dan bakteri
Pada
akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa
biawak Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta
kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini
diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi
karena adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para
peneliti ini menunjukkan bahwa efek langsung yang muncul pada luka-luka gigitan
itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah
mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan biawak Varanus varius, V.
scalaris dan komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa: bengkak
secara cepat dalam beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan darah, rasa sakit
yang mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang bertahan hingga
beberapa jam kemudian.
Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini. Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada korbannya; jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo adalah bakteri Pasteurella multocida yang sangat mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium. Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan untuk pengobatan manusia.
Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini. Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada korbannya; jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati dalam waktu satu minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo adalah bakteri Pasteurella multocida yang sangat mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium. Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan untuk pengobatan manusia.
F.
Reproduksi
Musim
kawin terjadi antara bulan Mei dan Agustus, dan telur komodo diletakkan pada
bulan September. Selama periode ini, komodo jantan bertempur untuk mempertahankan
betina dan teritorinya dengan cara "bergulat" dengan jantan lainnya
sambil berdiri di atas kaki belakangnya. Komodo yang kalah akan terjatuh dan
"terkunci" ke tanah. Kedua komodo jantan itu dapat muntah atau buang
air besar ketika bersiap untuk bertempur. Pemenang pertarungan akan
menjentikkan lidah panjangnya pada tubuh si betina untuk melihat penerimaan
sang betina. Komodo betina bersifat antagonis dan melawan dengan gigi dan cakar
mereka selama awal fase berpasangan. Selanjutnya, jantan harus sepenuhnya
mengendalikan betina selama bersetubuh agar tidak terluka. Perilaku lain yang
diperlihatkan selama proses ini adalah jantan menggosokkan dagu mereka pada si
betina, garukan keras di atas punggung dan menjilat. Kopulasi terjadi ketika
jantan memasukan salah satu hemipenisnya ke kloaka betina. Komodo dapat
bersifat monogamus dan membentuk "pasangan," suatu sifat yang langka
untuk kadal.
Betina
akan meletakkan telurnya di lubang tanah, mengorek tebing bukit atau gundukan
sarang burung gosong berkaki-jingga yang telah ditinggalkan. Komodo lebih suka
menyimpan telur-telurnya di sarang yang telah ditinggalkan. Sebuah sarang
komodo rata-rata berisi 20 telur yang akan menetas setelah 7–8 bulan. Betina
berbaring di atas telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya sampai
menetas di sekitar bulan April, pada akhir musim hujan ketika terdapat sangat
banyak serangga.
Proses
penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang keluar dari cangkang
telur setelah menyobeknya dengan gigi telur yang akan tanggal setelah pekerjaan
berat ini selesai. Setelah berhasil menyobek kulit telur, bayi komodo dapat
berbaring di cangkang telur mereka untuk beberapa jam sebelum memulai menggali
keluar sarang mereka. Ketika menetas, bayi-bayi ini tak seberapa berdaya dan
dapat dimangsa oleh predator.
Komodo muda menghabiskan tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator, termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari makanannya adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu. Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup lebih dari 50 tahun.
Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus.
Komodo muda menghabiskan tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator, termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari makanannya adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu. Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup lebih dari 50 tahun.
Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus.
G.
Partenogenesis
Sungai,
seekor komodo di Kebun Binatang London, telah bertelur pada awal tahun 2006
setelah dipisah dari jantan selama lebih dari dua tahun. Ilmuwan pada awalnya
mengira bahwa komodo ini dapat menyimpan sperma beberapa lama hasil dari
perkawinan dengan komodo jantan di waktu sebelumnya, suatu adaptasi yang
dikenal dengan istilah superfekundasi.
Pada
tanggal 20 Desember 2006, dilaporkan bahwa Flora, komodo yang hidup di Kebun
Binatang Chester, Inggris adalah komodo kedua yang diketahui menghasilkan telur
tanpa fertilisasi (pembuahan dari perkawinan): ia mengeluarkan 11 telur, dan 7
di antaranya berhasil menetas. Peneliti dari Universitas Liverpool di Inggris
utara melakukan tes genetika pada tiga telur yang gagal menetas setelah
dipindah ke inkubator, dan terbukti bahwa Flora tidak memiliki kontak fisik
dengan komodo jantan. Setelah temuan yang mengejutkan ini, pengujian lalu
dilakukan terhadap telur-telur Sungai dan mendapatkan bahwa telur-telur itupun
dihasilkan tanpa pembuahan dari luar. Ketujuh anak komodo keturunan Flora ini
lahir dalam keadaan sehat dan hanya makan jangkrik dan belalang sebagai makanan
dietnya. Ini sesuai dengan kehidupan asli komodo di alam liar. Berdasarkan
pengetahuan ilmiah, saat tumbuh dewasa, bayi-bayi komodo bisa mencapai ukuran
panjang 10 kaki (3 meter) dan memiliki berat sekitar 300 pon (135 kilogram).
Jika mencapai ukuran luar biasa ini, mereka akan sanggup menyantap bulat-bulat
seekor babi atau rusa. Selera makan yang buas pada reptil ini menjelaskan
mengapa Flora tidak dibiarkan berada dekat dengan anak-anaknya. Tidak ada
insting keibuan pada diri komodo. Jadi, sangat alami untuk tetap menjaga
anak-anaknya menjauh dari induknya. Induknya akan mencoba memakan apa saja yang
mendekat di depan hidungnya. Menurut data, sekitar 70 spesies reptil termasuk
ular dan kadal dikenal mampu bereproduksi secara aseksual (tanpa berhubungan
kelamin) dalam sebuah proses yang dikenal secara ilmiah sebagai partenogenesis.
Namun, konsepsi keperawanan (virginitas) Flora dan naga komodo lainnya pada
April lalu di kebun binatang London merupakan yang pertama kali
didokumentasikan. Dua konsepsi virginitas ini diumumkan pada September, yang
tertuang dalam makalah ilmiah dalam jurnal Nature.
Komodo
memiliki sistem penentuan seks kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY.
Keturunan Flora yang berkelamin jantan, menunjukkan terjadinya beberapa hal.
Bahwa telur Flora yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya dan kemudian
menggandakan kromosomnya sendiri menjadi diploid; dan bahwa ia tidak
menghasilkan telur diploid, sebagaimana bisa terjadi jika salah satu proses
pembelahan-reduksi meiosis pada ovariumnya gagal. Ketika komodo betina
(memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak dengan cara ini, ia mewariskan
hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom yang dipunyainya, termasuk
satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom tunggal ini kemudian
diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara partenogenetika. Telur yang
menerima kromosom Z akan menjadi ZZ (jantan); dan yang menerima kromosom W akan
menjadi WW dan gagal untuk berkembang.
Diduga
bahwa adaptasi reproduktif semacam ini memungkinkan seekor hewan betina
memasuki sebuah relung ekologi yang terisolasi (seperti halnya pulau) dan
dengan cara partenogenesis kemudian menghasilkan keturunan jantan. Melalui
perkawinan dengan anaknya itu di saat yang berikutnya hewan-hewan ini dapat
membentuk populasi yang bereproduksi secara seksual, karena dapat menghasilkan
keturunan jantan dan betina. Meskipun adaptasi ini bersifat menguntungkan,
kebun binatang perlu waspada kerena partenogenesis mungkin dapat mengurangi
keragaman genetika.
Pada
31 Januari 2008, Kebun Binatang Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi
kebun binatang yang pertama kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di
Amerika. Kebun binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu
di antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua telur
yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan ruang; yang
pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang kedua pada 1 Pebruari.
Kedua anak komodo itu berkelamin jantan.
H.
Evolusi
Perkembangan
evolusi komodo dimulai dengan marga Varanus, yang muncul di Asia sekitar 40
juta tahun yang silam dan lalu bermigrasi ke Australia. Sekitar 15 juta tahun
yang lalu, pertemuan lempeng benua Australia dan Asia Tenggara memungkinkan
para biawak bergerak menuju wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang.
Komodo diyakini berevolusi dari nenek-moyang Australianya pada sekitar 4 juta
tahun yang lampau, dan meluaskan wilayah persebarannya ke timur hingga sejauh
Timor Perubahan-perubahan tinggi muka laut semenjak zaman Es telah menjadikan
agihan komodo terbatas pada wilayah sebarannya yang sekarang.
I.
Komodo dan manusia
Komodo
pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas
setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor,
menerbitkan paper tentang komodo setelah menerima foto dan kulit reptil ini.
Nantinya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya ekspedisi ke pulau Komodo
oleh W. Douglas Burden pada tahun 1926. Setelah kembali dengan 12 spesimen yang
diawetkan dan 2 ekor komodo hidup, ekspedisi ini memberikan inspirasi untuk
film King Kong tahun 1933. W. Douglas Burden adalah orang yang pertama
memberikan nama "Komodo dragon" kepada hewan ini. Tiga dari spesimen
komodo yang diperolehnya dibentuk kembali menjadi hewan pajangan dan hingga
kini masih disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika.
J.
Penelitian
Orang
Belanda, karena menyadari berkurangnya jumlah hewan ini di alam bebas, melarang
perburuan komodo dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk penelitian
ilmiah. Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang Dunia II, dan tak dilanjutkan
sampai dengan tahun 1950an dan ‘60an tatkala dilakukan penelitian-penelitian
terhadap perilaku makan, reproduksi dan temperatur tubuh komodo. Pada
tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang lain dirancang untuk meneliti komodo
dalam jangka panjang. Tugas ini jatuh ke tangan keluarga Auffenberg, yang
kemudian tinggal selama 11 bulan di Pulau Komodo di tahun 1969. Selama masa
itu, Walter Auffenberg dan Putra Sastrawan sebagai asistennya, berhasil menangkap
dan menandai lebih dari 50 ekor komodo. Hasil ekspedisi ini ternyata sangat
berpengaruh terhadap meningkatnya penangkaran komodo. Penelitian-penelitian
yang berikutnya kemudian memberikan gambaran yang lebih terang dan jelas
mengenai sifat-sifat alami komodo, sehingga para biolog seperti halnya Claudio
Ciofi dapat melanjutkan kajian yang lebih mendalam.
K.
Konservasi
Biawak
komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan
sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar 4.000–5.000 ekor
komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini terbatas menyebar di
pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili Dasami (100), Komodo
(1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor). Meski demikian, ada keprihatinan
mengenai populasi ini karena diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350
ekor betina yang produktif dan dapat berbiak. Bertolak dari kekhawatiran ini,
pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional
Komodo untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau
termasuk Komodo, Rinca, dan Padar. Belakangan ditetapkan pula Cagar Alam Wae
Wuul dan Wolo Tado di Pulau Flores untuk membantu pelestarian komodo. Namun
pada sisi yang lain, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa komodo, setidaknya
sebagian, telah terbiasa pada kehadiran manusia. Komodo-komodo ini terbiasa
diberi makan karkas hewan ternak, sebagai atraksi untuk menarik turis pada
beberapa lokasi kunjungan. Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat,
kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran
alami,berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap;
semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo. CITES (the
Convention on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa
perdagangan komodo, kulitnya, dan produk-produk lain dari hewan ini adalah
ilegal.
Meskipun
jarang terjadi, komodo diketahui dapat membunuh manusia. Pada tanggal 4 Juni
2007, seekor komodo diketahui menyerang seorang anak laki-laki berumur delapan
tahun. Anak ini kemudian meninggal karena perdarahan berat dari luka-lukanya.
Ini adalah catatan pertama mengenai serangan yang berakibat kematian pada 33
tahun terakhir.
•
Populasi kecil
Ditinjau
dari segi ilmiah, populasi komodo yang amat khas ini dapat digolongkan ke dalam
island population di mana populasi yang mungkin ribuan dan bahkan jutaan tahun
yang lalu menciut menjadi populasi-populasi kecil yang memiliki tingkat
keragaman genetik yang khas, sesuai habitatnya.
Jadi,
populasi komodo di Manggarai Barat dan di Pulau Komodo memiliki ciri khas
populasi akibat sudah teradaptasinya gen-gen spesifik pada lingkungan yang
spesifik pula.
Perlu diluruskan kembali, inbreeding tidak selalu merugikan. Dalam banyak hal, inbreeding merupakan salah satu metode persilangan yang banyak dimanfaatkan untuk memurnikan suatu breed atau galur (line).
Perlu diluruskan kembali, inbreeding tidak selalu merugikan. Dalam banyak hal, inbreeding merupakan salah satu metode persilangan yang banyak dimanfaatkan untuk memurnikan suatu breed atau galur (line).
Jika
level coeficient inbreeding ini sudah mencapai angka tertentu, misalnya di atas
25 persen untuk ternak domestik, maka ”jika” ada gen yang merugikan yang ada
dalam galur (line) itu, peluang gen itu muncul secara homozigot akan lebih
besar.
Sebaliknya,
jika tidak ada gen lethal yang merugikan pada galur itu, koefisien inbreeding
yang tinggi sekalipun tidak akan menurunkan fitness galur tersebut.
Hal ini tentu akan sangat berbeda pada populasi satwa liar. Konsep survival the fittest biasanya berlalu pada hewan liar. Hanya para pejantan dan induk yang unggul saja yang dapat kawin dan berkembang biak serta menghasilkan keturunan. Komposisi gen dan daya adaptasi gen inilah yang menjadi kunci keberhasilan satwa liar dalam berkembang biak dan bertahan untuk meredam fluktuasi kondisi lingkungan yang berubah setiap saat. Hal ini telah berlangsung ribuan tahun dan dengan level koefisien inbreeding yang sangat tinggi pun depresi inbreeding tidak begitu berpengaruh.
Hal ini tentu akan sangat berbeda pada populasi satwa liar. Konsep survival the fittest biasanya berlalu pada hewan liar. Hanya para pejantan dan induk yang unggul saja yang dapat kawin dan berkembang biak serta menghasilkan keturunan. Komposisi gen dan daya adaptasi gen inilah yang menjadi kunci keberhasilan satwa liar dalam berkembang biak dan bertahan untuk meredam fluktuasi kondisi lingkungan yang berubah setiap saat. Hal ini telah berlangsung ribuan tahun dan dengan level koefisien inbreeding yang sangat tinggi pun depresi inbreeding tidak begitu berpengaruh.
Sebagai
contoh kasus cheetah di Afrika dan belahan dunia ini. Koefisien inbreeding-nya
mencapai di atas 90 persen. Hal ini berarti, hampir dipastikan bahwa semua
cheetah di dunia ini berkerabat. Pada kenyataannya, populasi cheetah masih
dapat bertahan dan berkembang biak dengan baik.
Pada
kasus komodo, kemungkinan besar justru inbreeding yang telah terjadi dalam
kurun ribuan tahun ini menguntungkan bagi populasi komodo. Perlu diingat, dalam
istilah genetika, populasi disebut dengan geographic specific population.
Mengingat
terisolasinya habitat komodo ini, kemungkinan besar genetiknya murni dan
kalaupun terjadi persilangan, persilangan terjadi dengan komodo asal Pulau
Komodo.
Selain itu, karena populasi ini khas dan terisolir, maka tujuan memindahkan populasi komodo Manggarai untuk memurnikan genetic.
Selain itu, karena populasi ini khas dan terisolir, maka tujuan memindahkan populasi komodo Manggarai untuk memurnikan genetic.
Justru
sebaliknya, biasanya populasi yang tergolong ke dalam island population ini
memiliki kemurnian yang tinggi dan spesifik lokasi.
•
Perlu kehati-hatian
Ditinjau
dari ilmu genetika, ekologi, dan populasi, diperlukan kehatian-hatian untuk
melakukan konservasi ex situ. Sebab, jika dilakukan tanpa tinjauan ilmiah yang
mendalam, hasilnya justru membantu mempercepat kepunahan suatu populasi.
Jika suatu individu atau kelompok individu dipindahkan dari habitatnya, biasanya individu ini mengalami berbagai stres, mulai dari stres akibat penangkapan, stres akibat tidak sesuainya dengan habitat baru, stres perubahan pakan, stres perubahan iklim, dan lainnya.
Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya.
Jika suatu individu atau kelompok individu dipindahkan dari habitatnya, biasanya individu ini mengalami berbagai stres, mulai dari stres akibat penangkapan, stres akibat tidak sesuainya dengan habitat baru, stres perubahan pakan, stres perubahan iklim, dan lainnya.
Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya.
Ini
berarti, setelah dipindahkan ke lingkungan baru yang tidak sesuai dengan
habitat semula, ada kemungkinan komodo tersebut menunda reproduksinya atau
bahkan tidak dapat bereproduksi sama sekali.
Jadi,
diperlukan suatu kehatian-hatian dalam menerapkan kebijakan pemindahan komodo.
Jangan sampai niat baik ini akan menjadi petaka kehilangan subpopulasi komodo
yang hanya dapat ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Jangan
sampai tragedi kematian massal bekantan yang dipindahkan dari Kalimantan ke
Jawa Timur beberapa waktu lalu terulang kembali.
L.
Penangkaran
Telah
semenjak lama komodo menjadi tontonan yang menarik di pelbagai kebun binatang,
terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya yang membuatnya begitu populer.
Meski demikian hewan ini jarang dipunyai kebun binatang, karena komodo rentan
terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit, serta tak mudah berkembang biak.
Komodo
yang pertama dipertontonkan adalah pada Kebun Binatang Smithsonian di tahun
1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup selama dua tahun. Upaya-upaya untuk
memelihara reptil ini terus dilanjutkan, namun usia binatang ini dalam
tangkaran tak begitu panjang, rata-rata hanya 5 tahun di kebun binatang
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Walter Auffenberg di atas, yang
hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The Behavioral Ecology of the Komodo
Monitor, pada akhirnya memungkinkan pemeliharaan dan pembiakan satwa langka ini
di penangkaran.
Telah
teramati bahwa banyak individu komodo yang dipelihara memperlihatkan perilaku
yang jinak untuk jangka waktu tertentu. Dilaporkan pada banyak kali kejadian,
bahwa para pawang berhasil membawa keluar komodo dari kandangnya untuk
berinteraksi dengan pengunjung, termasuk pula anak-anak di antaranya, tanpa
akibat yang membahayakan pengunjung. Komodo agaknya dapat mengenali orang satu
persatu. Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas melaporkan bahwa
komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila berhadapan dengan
pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain yang kurang lebih sudah
dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali belum dikenal.
Penelitian terhadap komodo peliharaan membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop ketika menggeser sepanjang permukaan yang berbatu. Seekor komodo betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington, D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung, kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka obyek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.
Penelitian terhadap komodo peliharaan membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop ketika menggeser sepanjang permukaan yang berbatu. Seekor komodo betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington, D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung, kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka obyek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.
Catatan
lain mengenai kesenangan bermain komodo didapat dari Universitas Tennessee.
Seekor komodo muda yang diberi nama "Kraken" bermain dengan
gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan kaleng, dengan cara mendorongnya,
memukul-mukulnya, dan membawanya dengan mulutnya. Kraken memperlakukan
benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi makanannya, mendorong Gordon
Burghardt –peneliti– menyimpulkan bahwa hewan-hewan ini telah mementahkan
pandangan bahwa permainan semacam itu adalah “perilaku predator
bermotif-pemangsaan”. Komodo yang nampak jinak sekalipun dapat berperilaku
agresif secara tak terduga, khususnya apabila teritorinya dilanggar oleh
seseorang yang tak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001, serangan seekor komodo
menimbulkan luka-luka serius pada Phil Bronstein -- editor eksekutif harian San
Francisco Chronicle dan bekas suami Sharon Stone, seorang aktris Amerika
terkenal -- ketika ia memasuki kandang binatang itu atas undangan pawangnya.
Bronstein digigit komodo itu di kakinya yang telanjang, setelah si pawang
menyarankannya agar membuka sepatu putihnya, yang dikhawatirkan bisa memancing
perhatian si komodo. Meski pria itu berhasil lolos, namun ia membutuhkan pembedahan
untuk menyambung kembali tendon ototnya yang terluka.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai
pembahasan di atas dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Biawak komodo merupakan
spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies
Rentan dalam daftar IUCN Red List. Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan
masih hidup di alam liar
2. Pemerintah Indonesia
menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi komodo
dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar.
3. Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami,berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo merupakan bebeapa penyebab rentannya kepunahan komodo.
3. Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami,berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada status rentan yang disandang komodo merupakan bebeapa penyebab rentannya kepunahan komodo.
4. Ditinjau dari segi ilmiah,
populasi komodo yang amat khas ini dapat digolongkan ke dalam island population
di mana populasi yang mungkin ribuan dan bahkan jutaan tahun yang lalu menciut
menjadi populasi-populasi kecil yang memiliki tingkat keragaman genetik yang
khas, sesuai habitatnya.
5. Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya
5. Secara fisiologis, jika individu komodo sudah lama beradaptasi pada suatu daerah, individu tersebut telah memiliki zona homeostasis fisiologinya yang khas. Maka, pemindahan ke habitat lain akan memaksa individu tersebut untuk menyesuaikan ke titik ”zona homeostasis” barunya. Jika individu tersebut tidak dapat secepatnya menyesuaikan diri, hal pertama yang dikorbankan adalah penurunan laju pertumbuhan dan mengurangi atau bahkan mengeliminasi aktivitas reproduksinya
B. Saran
Tulisan ini kami serahkan kepada pembaca untuk
dipelajari dan kami mengharapkan suara-suara yang berfaedah untuk memperbaiki
segala sesuatu yang dirasa perlu. Kami tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada siapa saja yang menambah pengertian kami mengenai
Komodo, serta konservasi (perlindungan) terhadap
Komodo. Bacalah aturan membuat makalah, jangan hanya menyalin makalah orang lain. #Rfz
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Komodo
Http://epaper.kompas.com/
Http://www.lombokwisata.com/sejarah-wisata-pulau-komodo-dragon-indonesia.htm
Http://epaper.kompas.com/
Http://www.lombokwisata.com/sejarah-wisata-pulau-komodo-dragon-indonesia.htm
i need help please this for my school project thankyou so much
BalasHapushttp://komodosss.over-blog.com/
.
JSM, Inc. - Casino & Sportsbook - MJH, Inc.
BalasHapusJSM, 성남 출장샵 Inc. is a Boyd Gaming 영천 출장안마 Company. JSM 논산 출장샵 is licensed, regulated and certified by the 여주 출장마사지 United States of America, the 양주 출장안마 following